Cerita Sex Ngentot Di kebun Sawit
jelas mamaku. Papaku kerjanya berkebun sawit di Duri jauh dari kota Siantar tempat aku tinggal dan bersekolah. Jadi kami hanya ketemu papa hanya 1 atau 2 kali sebulan, yach.. demi membiayai kebutuhan sekolahku dan 2 orang abangku yang sudah SMA , untuk sementara waktu papaku rela berjauhan dengan kami. Apalagi aku dan abang-abangku itu semuanya sekolah di swasta, butuh biaya yang tidak sedikit. Itulah sebabnya papaku tak bosan-bosannya terus mengingatkan aku dan abang-abangku supaya sungguh-sungguh belajar. Katanya kalau kami baik dan pandai, cita-cita kami akan tercapai. Dan itu semua untuk diri kami sendiri, untuk masa depan kami.
Aku langsung setuju ajakan mamaku, ”okke ma..!” jawabku gembira sambil mencium mamaku dan beranjak dari pangkuannya. Memang aku sangat senang jalan-jalan apalagi bersama mama dan papaku , sungguh aku udah lama menginginkannya! Kami berkemas-kemas membawa perbekalan 1 minggu di kebun sawit , khususnya bahan makanan dan tak lupa oleh-oleh. Kata papaku di sana bahan makanan lebih mahal dari di Siantar, kalau mau berbelanja harus di pekan, itupun hanya 1 kali seminggu. Mamaku bilang lama perjalan naik bus INTRA kira-kira 8 sampai 9 jam.
Kami berangkat dari siantar jam 7 malam dan tiba besoknya pukul 5 pagi. Sesampai di sana kami langsung menaiki boat ke lokasi kebun ,aku sedikit ngeri saat kami terapung di atas air .Aku jadi ingat waktu kecil pernah naik kapal di danau toba dan aku nyaman.Tapi kapal yang kami naiki ini beda, ukurannya kecil, kalau duduk di dalamnya goyang-goyang, jadi harus pegangan kuat-kuat.
Papaku bilang namanya boat, yaitu berupa sampan tetapi digerakkan oleh mesin .Orang-orang di sini menggunakannya sebagai alat transfortasi . Kami menyelusuri sungai melewati pohon-pohon sawit penduduk setempat. Sesekali tangan papaku menyisihkan rumput-rumput panjang yang menghalangi perjalanan kami. Aku membayangkan tempat ini pasti banyak ularnya,”ich..seram!” pikirku. Selama di atas boat perhatianku hanya tertuju ke arah gerak-gerik papaku yang seakan-akan berusaha menjaga keseimbangan kami di atas air. Aku benar-benar menyaksikan sendiri, papaku kerjanya di pedalaman , jauh dari keramaian kota Duri sampai-sampai naik boat . Kini aku baru percaya.Ternyata apa yang selama ini diberitahukan papaku tentang situasi kerjanya kepada kami kalau ia pulang ke Siantar , adalah benar. “Tidak enak!” demikian nadanya. Begitupun, aku sangat senang .Sebab mama papaku ada bersama dengan aku.Aku nyaman bersama mereka sebab aku yakin mereka sangat menyayangiku.
Hari pertamaku tiba di kebun, aku kenalan dengan anak-anak tetanggaku, mereka langsung menyambut aku dengan ramah, mereka sangat baik padaku.”Gideon..!” panggil mamaku, “ini, kasih sama teman-temanmu!” Mamaku menyodorkan beberapa bungkus kue untuk kubagi-bagikan sama teman-temanku. Aku bangga sama mamaku yang suka memberi kepada orang lain, sifat senang memberi seperti ini terus diajarkan mama papaku kepada kami anak-anaknya. ”kita harus suka memberi ya nakku ?” begitulah bunyi nasihatnya. Dengan senang hati aku dan mamaku membagi-bagikan oleh-oleh bawaan kami kepada tetangga di sana. Kue ketawa dan roti ganda, itulah oleh-oleh khas kampungku yang murah meriah yang tidak pernah terlupakan mamaku kalau bepergian.Tidak lupa permen ocop bereng milkky yang selalu disediakan mamaku di tasnya. Ia senang membagi -bagikannya ke setiap anak-anak yang dijumpai mamaku. Wah, semua kami sangat menyukainya.
Hari ke dua di kebun sawit , Abetnego dan temanku yang lain mengajak aku memancing di kanal yang letaknya tidak jauh dari halaman rumah tempat papaku tinggal. Kanal adalah seperti sungai kecil yang mengalir di sekeliling kebun. Kata temanku kalau musim hujan seperti sekarang ini air di kanal akan naik sehingga dalamnya bisa 3 sampai 5 meter. Sebelum memancing kami terlebih dahulu mencari cacing sebagai umpannya. Kami menggali tanah di dekat kanal itu dan berhasil mengumpulkan beberapa ekor cacing. Kaki, tanganku dan bajuku berlumpur-lumpur .Tetapi untuk mendapatkan cacing , sedikitpun aku tidak jijik,karena otakku membayangkan serunyanya memancing itu. Wah, aku dan teman-temanku dapat ikan . Pancingan pertamaku langsung berhasil.Kami dapat ikan yang besar juga kecil, macam-macam dech jenis ikannya,aku hanya kenal ikan lele saja karena mamaku sering membelinya .
“Hei..teman-teman ,aku dapat ikan lagi!” seruku sambil menunjukkan ikan pancinganku kepada teman-temanku. Mereka semua memandang ke arahku “Iya..ya..hebat juga kamu Gideon!” puji temanku sambil mengacungkan jempolnya ke arahku. Aku semakin bersemangat berkat pujian mereka itu. Dengan senang hati kami mengumpulkan semua ikan-ikan hasil tangkapan kami dan menyerahkannya sama mamaku. Kami sepakat untuk menikmati bersama hasil jerih payah kami . Mamaku bangga dengan kebolehan kami semua.”Ayo..kita kerja sama, kalian bersihkan ikannya supaya mama menyiapkan bumbunya!” perintah mamaku dengan haru. Kami dan mamaku bekerja sama memasak ikan tangkapan kami itu dan kami makan bersama-sama uenak lho! Rasanya manis dan segar,kami semua kenyang.
Pagi itu hari ke tiga aku dan mama papaku berlibur di kebun sawit, aku bangun kesiangan. ”Gideon..Gideon..bangun anakku!” panggil mamaku dari dapur yang sudah bangun terlebih dahulu. Pertama kali dipanggil mamaku , aku masih malas bangkit dari tempat tidurku, yach.. mungkin karena semalam aku kelelahan menangkap ikan bersama teman-temanku. Tiba-tiba mamaku membuka jendela kamar sambil memaksa aku bangun .”Ayo..bangun udah siang!” kata mamaku. Mataku silau terkena cahaya matahari, sehingga mengusir rasa malasku dan membuat aku langsung bangkit .”Doa dulu ya nakku..?” mamaku mengingatkan aku , sebagaimana kebiasaan kami dalam keluarga yang selalu beribadah mau tidur dan bangun .
Dari luar pintu aku dipanggil oleh temanku, ”Gideon…Gideon.. !” panggil Abetnego tetanggaku. Badannya gendut kulitnya hitam dan rambutnya keriting , percis seperti orang Papua. ”Abet!” begitu panggilannya.Orangnya baik, lucu dan menyenangkan. Dia mengajak aku bermain di kanal yang tidak jauh dari rumahku. Kami berenang dan bermain sampan yang kebetulan sedang parkir di situ, untung mama papaku tidak melarang aku bermain. Sesekali mamaku menoleh ke lokasi berenangku untuk memastikan bahwa aku aman-aman saja. Wah..aku sangat senang sekali bisa bermain di tempat ini, aku lompat kesana-kemari , menyelam ke dasar kanal bergembira bersama teman-temanku . Ach..hampir-hampir aku tertelan air kanal. Baru beberapa hari di sini, aku sepertinya udah mulai ketagihan dengan suasana tempat tinggalku ini. Pokoknya sangat menyenangkan! Aku jadi ingat waktu di Siantar, guruku membawa kami berenang ke Detis. Itupun sekali-kali saja, kalau ada kegiatan olah raga. Jika boleh dibandingkan, lebih seru di sini. ”Terimakasih Tuhan..!” ucapku dalam hatiku mensyukuri .
Hari sudah siang, kami pulang ke rumah untuk membersihkan tubuh kami dengan air bersih dan sabun, soalnya air di kanal tadi warnanya kuning tapi untung saja badanku nggak gatal. Aku mengajak teman-temanku makan di rumahku, mamakupun meladeni kami dengan senang hati. Yach..! kami makan dengan lahapnya, sekalipun lauknya ikan asin sambal. Memang mamaku baik, apalagi sama anak-anak. Di kampung dia sering memanggil dan mengumpulkan anak-anak untuk diajari dan sekaligus memberikan buku-buku bagus untuk dibaca. Mamaku suka bercerita ke pada kami.Ia gemar belajar dan membaca. Bermula dari hobby itu mamaku membuat TAMAN BACA ANAK TIRANUS di dekat rumahku. Mamaku sangat mencintai dunia anak-anak . Apakah karena dia berprofesi seorang guru, aku tidak tahu!
Sore itu aku bermain bersama dengan si putih. Siputih adalah nama seekor anjing peliharaan papaku yang kebetulan bulunya berwarna putih. Papaku sangat suka memelihara anjing .Waktu kecil si putih punya saudara namanya si hitam. Kedua anjing ini dulunya dibawa papaku dari Siantar, tetapi kata papaku si hitam sudah mati karena termakan racun sawit. Jadilah si putih sebatang kara.”Kasihan yach.” Udah pernah beberapa kali si putih hilang, tetapi dia kembali lagi.
Dia senang berburu, menangkap hewan-hewan liar yang menggangu yang suka memakan buah-buah sawit. Si putih bak seorang pahlawan bagi orang-orang yang tinggal di kebun itu. Papaku bilang si putih adalah seekor anjing yang jinak dan dia sangat tertip lho..! Anjing si putih tidak mau masuk sembarangan ke dalam rumah mengotori rumah, kalau dia ada maunya misalnya minta makan, dia duduk di depan pintu rumah dan menghentak-hentakkan kepala dan kaki depan sebagai bahasa isyaratnya tanda lapar. Papaku yang sudah mengenal sifatnya langsung memberinya makan. Papaku selalu memperhatikan kesehatannya dengan cara sering membersihkan tubuhnya, apalagi bulunya yang putih sangat mudah kotor. Jika papaku berkeliling memeriksa kebun setiap pagi, si putih terus membuntutinya dari belakang, bak pengawal sambil sesekali menggonggong. Dia suka mengkais-kais tanah dan menciumnya, mungkin dia sedang mencari sesuatu. Waktu aku dan papaku berjalan menyeberangi sungai melalui sebuah titi yang terbuat dari sebatang kayu, si putih merengek-rengek sambil menggaruk-garuk tepi titi. Aku menoleh ke belakang, ternyata si putih tidak bisa berjalan melewati titi. Terpaksa papaku menggendongnya. Lucu aku melihatnya.
Pernah suatu waktu si putih anjing peliharaan papaku itu tidak kelihatan. Aku dan papaku mencari-carinya di sekitar kebun sawit yang lumayan luasnya, kira-kira 100 ha.Kami terduduk karena kecapean.Tidak jauh dari lokasi kami duduk , kami lihat ternyata si putih sedang kasak-kusuk asik menggonggong ke arah suatu tempat . Papaku memeriksa, ternyata ada ular besar yang sedang terjerat oleh perangkap.Warnanya hitam belang-belang. Panjang ular itu kira-kira 3 meter, ” iiih.. aku takut!” Aku disuru papku berlari memanggil orang ke rumah. Lalu ular itu segera ditangkap dan diasingkan oleh anak buah papaku, entah bagaimana nasip ular itu selanjutnya aku nggak tahu. Untunglah si putih bijak,sehingga ular besar itu dapat diamankan. Kalau tidak, bisa-bisa ular itu mencelakai orang-orang. Si putih adalah teman baikku yang lucu yang setia menemaniku bermain, kemanapun aku pergi.Sedih rasanya aku berpisah dengan dia bila aku kelak akan pulang ke kampungku bersama mamaku.
Hari ini hari yang ke empat liburanku di kebun sawit,kata papaku kami panen pertama.Ternyata masa panen sawit 2 kali dalam sebulan atau 1kali setiap 2 minggu. Daiam-diam aku mendekati papaku yang sedang duduk bersama dengan mamaku di teras rumah.”Pa,boleh aku ikut papa melihat-lihat panen hari ini? “ tanyaku pada papaku. ”Boleh, asal jangan mengganggu dan tidak macam-macam!” sahut papaku .Okke paa..! jawabku dengan semangat.Aku mengajak Abetnego temanku supaya ikut.Ternyata dia dan kakaknya juga harus membantu ibunya mengutip berondolan. Berondolan adalah butiran buah kelapa sawit yang berjatuhan saat di panen, kata papaku harga 1 kg berondolan Rp 900 emm..lumayan besar juga untuk anak-anak seusiaku. Kalau misalnya dapat 100 kg? maka uangnya Rp 90.000. Katanya uang hasil berondolan yang dikumpulkan Abet dan kakakya ini digunakan untuk keperluan sekolah mereka.
Aku melihat temanku Abet dan kakaknya sangat bersemangat membantu ibunya mengumpulkan berondolan. Aku jadi ikut semangat. ” Boleh aku ikut bantu?” tawarku menyodorkan diri.” Boleh,tapi awas hati-hati tanganmu nanti tertusuk durinya!” jawab Abetnego temanku. Lalu perlahan-lahan tanganku menggapai tumpukan sawit yang berjatuhan dan memasukkannya pada sebuah goni. Aku mengikuti Abetnego ke arah pokok sawit yang sedang diambil buahnya (kata istilah di sana didodos ) dan memperhatikan kalau-kalau ada buah sawit yang berjatuhan, segera kami mengambilnya memasukkannya ke dalam goni. ”Wah, goni kita udah hampir penuh ya Bet?” seruku .
Papaku sangat hati-hati memeriksa buah-buah yang dipanen supaya tidak terikut yang mengkal. Buah sawit yang sudah siap dipanen itu warnanya merah kecoklat-coklatan. Kalau kulitnya dikupas, mengeluarkan minyak. Satu pokok sawit bisa didapat dua sampai tiga tandan buah. Lumayan juga ya. Para pekerja anak buah papaku sangat cekatan dan terampil bekerja, mungkin karena sudah biasa melakukannya. Papaku sudah membagi tugas mereka sesui dengan kemampuan mereka masing-masing. Mereka tidak segan-segan mengeluarkan tenaganya untuk mengumpulkan dan mengangkat buah sawit dengan menggunakan angkong. “Wah berat sekali..!” pikirku. Aku terharu melihat papanya Abet yang tidak kenal lelah mendorong buah-buah sawit yang dipanen. Aku teringat ketika Abet pernah cerita padaku bahwa kaki papanya yang sebelah kiri udah tidak ada lagi. Kakinya diamputasi karena mengalami kecelakaan berat. Jadi harus dibantu pakai kaki palsu, supaya bisa bekerja mencari nafkah keluarga.” Tuhan,semoga Engkau memberi kekuatan kepada bapak ini.” Doaku .
Buah-buah sawit yang sudah dipanen dikumpulkan di suatu tempat ke pinggir kanal, lalu di masukkan kedalam perahu. Maklum, alat transfortasi di sini menggunakan perahu yang digerakkan oleh mesin. Aku sangat senang ketika papaku membolehkan aku ikut di perahu mengantarkan sawit-sawit ke pangkalan. Sepertinya papaku ingin mengajarkan aku supaya aku benar-benar mengetahui betapa berat dan susahnya papaku bekerja di sini ,mencari nafkah untuk keperluan sekolahku dan abang-abangku . Papaku benar-benar seorang yang hebat dan bertanggung jawab terhadap keluarga. Itulah sebabnya mamaku dan kami anak-anaknya sangat sayang sama papaku. Aku bangga sama papaku. Aku tetap berdoa semoga mama papaku diberi Tuhan kesehatan dan berkatNya. Khususnya hikmat dan kesabaran untuk mendidik kami anak-anaknya.
Hari kedua panen aku masih menyukai aktifitas yang kemarin yaitu ikut sama papaku mengawasi para anak buah papaku memanen sawit. Aku hanya lihat-lihat saja sambil ikutmembantu ngumpulin berondolan bersama temanku Abetnego. Para pekerja anak buah papaku masih tetap giat bekerja, ada yang sebagai pemotong buah, ada yang membersihkan pelepah , ada yang sebagai tukang ngumpulin buah dan membawanya ke pinggir kanal, ada yang khusus memasukkan buah ke dalam perahu ada juga sebagai pengantar buah sampai ke tangkahan.
Tidak mau ketinggalan, aku terus ikut-ikutan bak mandor kecil. Sampai di tangkahan hasil panen segera disortir dan ditimbang oleh tokeh buah. Papaku mengawasi dengan ekstra hati-hati supaya tidak terjadi penyimpangan timbangan, bisa-bisa rugi khan? . “Paa..berapa berat panen sawitnya..?” tanyaku ingin tahu.” Semalam 4 ton dan hari ini 5 ton anakku.” jawab papaku dengan sabar. Aku hanya diam nganguk-ngangguk karena aku memang kurang mengerti soal itu, masih anak-anak . Aku hanya tahu 1 ton itu sama dengan 1000 kg, karena di matematika kami sedang mempelajari pelajaran ukuran berat. Aku sangat bangga bisa menemani papaku dalam pekerjaannya.
Hari ini adalah hari terakhir panen . Air di kanal meluap hampir-hampir sampai kepekarangan rumah tempat kami nginap. Semalam-malaman turun hujan dengan deras . Suara katak bernyanyi berbalas-balasan, bergembira seperti perlombaan paduan suara. Ah! telingaku jadi bising menyaksikan suara-suara yang tidak jelas nadanya itu. Tapi untung juga, air di kanal menjadi penuh. Sehingga kami bisa naik perahu tanpa ada hambatan. Sebab tinggi air memadai untuk bisa dilalui sampan. Papaku selalu membawa aku naik perahu kalau mengantarkan hasil panen ke tangkahan.Senang naik perahu mesin bersama papa, apalagi sepanjang jalan papaku menceritakan pengalaman-pengalaman suka dukanya padaku.
Kami jadi akrap seperti sahabat.
Usai menemani papaku, 4 orang temanku mengajak aku bermain di air kanal. Kanal menjadi tempat paforit kami bermain. Mama papaku mengijinkan aku . Kami main bola air, berenang , bermain perahu dan main alep tangkap. Kami hanya diperbolehkan mamaku di tempat-tempat yang airnya dangkal saja dan tidak jauh-jauh dari rumah, supaya mamaku bisa mengawasi aku. Sedang kami asik-asiknya berenang, eh..!tiba-tiba kami dikagetkan oleh suara keras tangisan anak kecil. Segera, segenap permainan kami hentikan dan kami mencari arah sumber suara. Astaga..ternyata adiknya temanku Abet yang tergelincir jatuh ke kanal. Umurnya baru 2 thn. Kepala dan tangannya berdarah. Aku kira tidak bernafas lagi,karena ia langsung lemas ,kaku dan matanya tertup.Tanpa berpikir panjang kami langsung menolongnya ,menggendongnya ke darat dan menyerahkannya pada ibunya yang baru saja pulang mengutip berondolan. Ibunya kaget menjerit histris, membuat orang-orang sekampung jadi berdatangan. Akibat peristiwa itu kami semuanya jadi bubar dan pulang ke rumah masing-masing.
Hari ini hari terakhir masa liburanku di kebun sawit. Aku meminta teman-temanku menuliskan alamat sekolahnya untuk kubawa pulang ke Siantar. Aku tidak bisa melupakan mereka semua.Aku berharap suatu saat akan menulis surat kepada mereka semua. Aku dan mamaku mengundang mereka semua masuk ke dalam rumahku . Sepertinya mamaku membuat acara perpisahan kecil-kecilan dengan mereka. Kepada kami mamaku bercerita tentang seorang tokoh Ilmuan Thomas Alfa Edison yang waktu kecil dikenal lemah ,tetapi akhirnya berhasil dan terkenal karena kesabaran dan kegigihannya belajar. Ia tidak pernah takut untuk terus mencoba,sekalipun berkali-kali mengalami kegagalan. Mamaku menasehati aku dan teman-temanku supaya meneladani tokoh itu .”Semangat sekolah, rajin belajar, jangan takut gagal, taat pada orang tua dan guru!” begitulah nasihatnya. . Mamaku memberikan uang jajan kepada teman-temanku semua dan berjanji suatu saat akan jumpa lagi kalau ada liburan sekolah.
Kami berkemas-kemas hendak pulang ke Siantar, karena libur sudah selesai dan besok masuk sekolah. Aku dan mamaku sangat suka cita meninggalkan lokasi kebun sawit yang telah banyak memberi kenangan yang sangat berharga. ”Semua tak terceritakan!” ucapku dalam hatiku. Kami meninggalkan kebun dengan menumpangi sebuah sampan .Tak ingin ketinggalan , si putih berlari mengikuti kami dari belakang dan akhirnya berhenti memandangi kami dari kejauhan seraya mengucapkan selamat jalan. Aku melambaikan tanganku ke arah si putih dan berteriak “da..da..putiihhh.!”. Semakin lama semakin jauh kami meninggalkannya. Mataku berkaca-kaca menyaksikan perpisahan itu.” Kalau ada pertemuan, ada juga perpisahan!” kata mamaku kepadaku.