Cerita Sex Jeritan Hot

itil foundation
Cerita Sex Jeritan Hot - Cerita Seks Dewasa Di Bali - Bulan menyembul malu-malu dari balik rimbunan pohon-pohon dan bangunan-bangunan hotel sepanjang pantai Kuta. Desiran angin memyentuh kulitku sehingga membuat bulu-bulu di tangan terangkat naik dan turun. Aku masih asyik menyaksikan deburan ombak memecah pantai. Suaranya terdengar menggelegar saat ombak beradu dengan ombak yang lain. Di belakangku suara musik pun beradu dengan kerasnya, seolah ingin menyaingi deburan ombak yang menggelegar. Sedikit pun aku tidak terusik oleh musik buatan manusia, pandanganku hanya tertuju pada ombak yang bergulung-gulung memecah pantai.

Cerita Sex Jeritan Hot
Cerita Sex Jeritan Hot

“Tolong, tolong, tolong!” jerit ketakutan datangnya dari arah punggungku, disertai gonggongan suara anjing.

Cerita Sex | Aku segera bangkit dan mengejar arah gonggongan anjing. Tampak seorang wanita berkulit putih bersender pada tembok hotel, sambil melempar batu-batu kecil pada seekor anjing kampung. Aku mengambil tongkat kayu dan melempar dengan keras. Buk! Kaing, kaing, kaing, kaing. Rupanya lemparanku tepat mengenai anjing tersebut.

“Terima kasih” ujar wanita tersebut seraya mengulurkan tangannya.

Pesona wajahnya dan harum parfum yang keluar dari badanya membuat aku sedikit terpana.

“Sama-sama, Ibu tidak apa?” sahutku dengan penuh perhatian.
“Ya, tidak apa-apa, hanya sedikit takut” ujarnya.
“Ibu tinggal dimana?” Dengan niat baik aku sampaikan.
“Saya menginap di hotel ini” sambil tangannya menunjuk ke belakang.

Persis pada posisi Ibu ini bersandar pada tembok hotel.

“Tadi teman-teman beritahu kalau mau cepat balik ke hotel lewat jalan kampung ini. Tapi apes ya, malah di gonggong anjing. ” Ada nada ketakutan pada suaranya.
“Kebetulan Bu, saya juga menginap di hotel ini, mau saya antar?” ujarku.

Dia mengangguk tanda setuju. Kami pun bergegas meninggalkan jalan kampung tersebut. Takut kalau anjing-anjing lain keluar dan menggonggongi kita lagi.

Ibu Rossye, usianya sekitar 45 tahun, mempunyai 2 orang putra yang sudah duduk dibangku SMA. Bentuk tubuh Ibu Rossye sangat proporsional, berkulit putih serta hidungnya mancung, sekilas seperti orang-orang barat pada umumnya. Kalau memandang Ibu Rossye, tidak akan menyangka seperti sudah berumur. Orang bilang awet muda. Ya, Ibu Rossye memang awet muda dan tetap cantik.

Kedatangan Ibu Rossye ke Bali, untuk melihat beberapa usahanya yang ada di Bali. Dia ke Bali bersama beberapa kawannya, suami dan putranya tidak ikut karena kesibukan masing-masing.

“Malam Pak, Bu” petugas loby menyapa kami.

Kami membalas sapaan petugas hotel tersebut seraya menuju front desk untuk mengambil kunci kamar. Lagi-lagi kebetulan memayungi kami, kamar kami persis bersebelahan.

Ibu Rossye tertawa kecil sambil mengatakan,

“Lho Bi”, oh ya, namaku Abi,
“Nggak tahunya kita tetanggaan di hotel ini ya” ujarnya sambil memainkan anak kunci.

Sambil tertawa aku katakan kepadanya,

“Belum ngantuk kan?” Jam di tembok menunjukkan pukul 20:00 wita.
“Belum. ” Dia menggelengkan kepalanya.
“Mau ke loby sambil dengerin live music, Ibu cantik?” Aku menggodanya.
“Boleh, tuan tampan” Ujarnya menggoda pula, sambil tertawa.

Di loby tampak beberapa pengunjung menikmati alunan musik. Beberapa orang terlihat masuk ke dalam loby dengan dandanan seadanya. Biasa inilah Kuta, Bali. Di sini semuanya serba informal. Orang bebas masuk ke
hotel bintang lima dengan dandanan apa adanya. Saat akan menduduki kursi, tampak seorang wanita cantik dan masih muda menyapa Ibu Rossye.

“Kenalin Bi, staf saya di kantor.” Ibu Rossye memperkenalkan wanita cantik tersebut.
“Tari” Ujarnya pendek. Kelihatanya seperti tidak suka kepadaku.

Dia mengambil tempat duduk persis di sebelah tempat duduk Ibu Rossye. Tangannya bersandar pada sisi tempat duduk dan tatapannya tajam ke arah pertunjukkan. Sesekali diliriknya Ibu Rossye. Aku dan Ibu Rossye berbicara dan bersenda gurau. Tampaknya kami makin akrab saja. Sesekali dicubitnya tanganku saat ada gurauanku yang membuatnya kikuk. Tari selalu menoleh saat aku dan Ibu Rossye bercanda, tatapannya tajam ke arah Ibu Rossye.

“Bu, saya sudah mulai ngantuk, saya balik duluan ya?” Tari kelihatan mulai jenuh atau memang benar-benar sudah mengantuk. Ibu Rossye hanya menganggukkan kepalanya.
“Mari Mas!” sambil melirik ke arahku dan beranjak dari tempat duduknya.

Suara musik masih mengalir dengan lancar, beberapa pasang mata dan telinga masih dengan setia mendengarkan alunan vokal dari penyanyi tersebut. Terlihat pasangan kekasih di sebelahku berasmara saling memagut bibir masing-masing. Tangan keduanya saling meremas alat vital masing-masing, seolah dunia ini milik mereka berdua. Aku dan Ibu Rossye hanya melirik kelakukan mereka. Dipegangnya tanganku seolah ingin mendapatkan dekapan mesra dariku.

Aku membalikkan telapak tanganku sehingga memberikan dekapan yang hangat kepada Ibu Rossye. Tangannya meremas telapak tanganku dengan sangat lembut. Sesekali aku pandang wajahnya. Wajah cantik yang membuat aku sangat ingin menyayanginya. Walaupun dalam hati kecilku, aku ragu akan memilikinya. Usiaku jauh terpaut sekitar lima belas tahun lebih muda darinya.

“Bi, balik ke kamar yuk? Saya mulai ngantuk.” Lamunanku terlempar masuk ke dalam. Menyadarkan aku bahwa aku masih di samping Ibu Rossye.
“Ya, saya juga udah ngantuk.” Secara reflek kata-kataku meluncur dengan sendirinya.

Setelah menandatangani nota pembayaran, kami segera beranjak meninggalkan keramaian dan hiruk pikuk suasana loby. Kami bergandengan tangan layaknya sepasang kekasih. Meninggalkan beberapa tatapan pasang mata, yang terlihat iri menyaksikan kami berdua. Suasana gang menuju kamar terasa sepi dan hening. Dihiasi dengan lampu yang temaram dan heningnya suasana menambah keinginan kami untuk saling mendekap. Hanya keberanian yang belum aku miliki. Ada perasaan sungkan untuk memulainya. Padahal sinyal-sinyal cinta dan birahi telah keluar memancar dari masing-masing badan kita.

Ibu Rossye mengambil kunci kamar berupa magnetic card dari dalam tas kecilnya. Dimasukkannya kunci tersebut kedalam slotnya. Tidak terlihat tanda berupa warna hijau menyala dari lampu kecil yang terpasang sebagai indikator bahwa pintu bisa dibuka.

“Abi, bisa bantu? Kog nggak mau terbuka ya?” Sambil menyerahkan kunci tersebut kepadaku.

Berkali-kali aku memasukkan ke dalam slot kunci tersebut tidak ada tanda-tanda lampu indikator menyala hijau.

“Nggak bisa Bu, saya panggil staf hotel saja?” Segera tanganku mengambil handphone untuk menghubungi staf hotel.
“Hm.. Jangan Bi, kasian Tari. Mungkin dia kecapean.” ujarnya sambil tangannya menahan tanganku untuk tidak menggunakan handphone.
“Mungkin dia lupa, saking capeknya, dia kunci dari dalam.” Ujarnya.
“Ya, ya, benar juga Bu, kalau terkunci dari dalam, nggak bisa dibuka dari luar.” Sahutku.
“Kalau Ibu nggak keberatan, di kamar saya saja.” Sambungku.
“Nggak ganggu kamu Bi?”
“Kamu kan juga perlu istirahat?” Ujarnya dengan nada keibuan. Aku hanya menggelengkan kepala sambil mengambil kunci kamar.

Kerlap-kerlip lampu di kolam renang terlihat dari jendela kamarku. Aku mengambil dua botol air mineral berikut gelasnya dan meletakkannya di meja. Kemudian televisi aku nyalakan, agar suasananya tidak kaku. Ibu Rossye hanya memandang kelakuanku.

“Kamu orangnya telaten ya Bi?” Sambil minum segelas air.
“Handbag dan kamar kamu ini, bersih. Kamar mandi juga, Aku senang lihat cowok bersih seperti kamu.” Ujarnya tanpa bermaksud memujiku.
“Bisa aja Ibu kita ini.” Sahutku dengan bercanda.
“Kan besok saya balik ke Jakarta, makanya mesti beres-beres dari sekarang. Besok biar nggak grasa-grusu gitu?” Ujarku saling mengerling padanya.
“Ih.. Genit kamu.” Sambil ketawa dia melempar tissu ke arahku.
“Ya.. Nggak kena.” Balasku sambil meledek ke arahnya dan mengibas-ngibaskan tissu yang dia lempar.
“Ya.. Kamu curang, mau dilempar udah tahu duluan. Kalau kamu dekat kena tuh.” Ujarnya sambil tertawa kecil.
“Ya, ya.. Nih saya dekatin. Biar Ibu cantik tidak marah..” Ujarku sambil mendekat ke arah Ibu Rossye, dengan jalan bak binaragawan.

Ibu Rossye tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan kelakuanku. Tidak cocok katanya, malah kayak porter-porter di airport. Katanya aku seperti orang yang membawa barang-barang berat. Tertawanya makin kencang saat aku merubah gaya, aku bergaya seolah-olah membawa beban berat. Wajah Ibu Rossye tampak semakin cantik dengan pipi yang merah menahan tawa.

“Aduh!” Aku berteriak dengan kencang dan meraba pergelangan kakiku, sambil menjatuhkan badanku di atas tempat tidur.
“Kenapa Bi?” Mukanya terlihat tegang dan segera menghampiriku.
“Nggak tahu Bu, kaki saya sakit sekali.” Sambil tanganku mengurut-urut pergelangan kaki yang sakit. Ibu Rossye meraba kakiku dan berusaha mencari penyebab sakitnya.
“Yang mana sakitnya Bi?” Tangannya meraba dan menekan dengan perlahan.
“Kayaknya disini deh Bu, sakitnya seperti berpindah-pindah. Tadi dipergelangan kaki, sekarang naik kemari, aduh tahu nih.” Ujarku dengan meringis dan memijat di sekitar lutut.
“Ini ya?” Tangannya memijat lututku.
“Bukan..” Sahutku.
“Ini?” Tangannya mulai memijat pahaku yang masih terbalut celana jeans.
“Bukan.. ” Sahutku dengan suara bergetar.

Tangan Ibu Rossye merambat naik mendekati daerah vitalku mencari-cari kemungkinan penyebab sakit di kaki ku. Aku mulai merasa kasihan dengannya. Sebenarnya aku hanya bermaksud untuk membuat lelucon.

“Bu, sakitnya bukan disana, tapi disini” Aku dekap jantungku layaknya pemain sinetron.
“Ih norak, norak. Tahu nggak kamu itu norak?” Sambil menjepit hidungku dan bergegas menghidar dariku. Aku hanya tertawa dan segera meraih tangannya.
“Bu, saya sayang Ibu.” Sahutku dengan lembut.

Ibu Rossye terpana dan memandang wajahku. Tanpa aku sadari dilumatnya bibirku dengan birahi. Ciumannya sangat menantang dengan posisinya diatas badanku. Benar-benar tipe seorang wanita pengusaha, selalu ingin berada diatas segala-galanya. Perlahan-lahan resliting celana jeans, aku buka agar alat vitalku tidak tertekan oleh banyaknya cairan birahi yang siap meledak. Ciuman panas Ibu Rossye membuat aku hampir kehilangan kontrol.

Aku ingin segera membuka pakaiannya dan memasukkan alat vitalku kedalam lubang kenikmatanya. Tapi hati kecilku mengatakan, jangan! Permainan ini harus pelan dan dinikmati. Kancing baju yang paling atas aku buka. Tanpa membuang waktu, tangan Ibu Rossye segera membuka kancing bajuku yang berikutnya. Terbuka semua bajuku, terlihat dadaku yang putih dengan sedikit bulu-bulu kecil menyebar disekitarnya.

Ciuman bibirnya mulai mengarah kebawah. Puting susuku dihisapnya dengan perlahan dan sesekali digigitnya. Sensasinya luar biasa! Aku benar-benar sudah terangsang berat. Tanganku mulai bekerja, kancing baju Ibu Rossye aku buka hingga terbuka semuanya. Terlihat buah dadanya menggantung disangga oleh sepasang BH berwarna putih. Benar-benar pemandangan yang sangat menggairahkan, kulit putih mulusnya sangat sesuai dengan BH yang dia kenakan.

Seluruh permukaan perutku dia cium, meninggalkan bekas-bekas ludah disekujur perutku. Kontolku berkedut-kedut, seakan ingin merobek-robek celana yang masih aku kenakan. Tanpa diperintah Ibu Rossye menjamah kontolku dengan kedua tangannya. Bibirnya menciumi ujung kontolku dan perlahan-lahan kontolku mulai masuk kedalam mulutnya. Ada perasaan merinding dan geli saat kontolku masuk kedalam mulutnya. Sesekali hisapannya naik keatas. Bermain-main pada ujung kontolku. Hm, begitu nikmat.

Aku menarik badan Ibu Rossye dengan perlahan. Menciumnya dengan liar, bagaikan nyala api berkobar-kobar. Kenikmatan menuju puncak birahi segera dimulai. Dalam keadaan tanpa sehelai benang pun menutupi, diterangi oleh lampu kamar hotel dan ditingkahi oleh suara-suara yang keluar dari televisi, Ibu Rossye memejamkan matanya saat kontolku dibimbingnya masuk kedalam lubang vaginanya. Posisinya berada di atas badanku. Buah dadanya menggantung bebas, bagaikan buah pepaya muda yang belum matang. Aku sendiri tidak habis pikir melihat buah dadanya yang masih kencang, dengan puting merah kecoklatan.

“Ah.. Enak sekali Bu..” Aku mengerang kenikmatan saat kontolku bergerak naik dan turun, mengikuti irama badan Ibu Rossye. Plak plak plak bunyi kenikmatan terdengar bersahut-sahutan.
“Bi, ah.. Ah.. Aku mau keluar bi.. Ah..” Badan Ibu Rossye makin keras bergoyang-goyang. Kadang pantatnya meliuk-liuk, naik dan turun menjepit kontolku. Rembesan cairan keluar dari dinding vaginanya membuat batang kontolku menjadi licin.
“Ah.. Aku kalau diatas emang cepat sekali keluarnya..” Rupanya puncak kenikmatan telah dilaluinya.

Ibu Rossye merebahkan badannya, menindih badanku sambil mencium dengan lembut. Tangannya memainkan puting susuku dan berusaha memegang kontolku yang masih keras menunggu babak selanjutnya.

“Gantian Bi, kamu di atas sekarang. Masih kuat kan sayang.?” Senyumnya menggoda.

Pahanya yang putih mulus terbuka lebar. Bibir vaginanya menyeruak keluar dikelilingi oleh bulu-bulu hitam kecoklatan yang ditata dengan rapi. Klitorisnya tersembul malu-malu saat lidahku bermain-main disekitar bibir vagina Ibu Rossye.

“Ah.. Enak sekali bi.. Truskan sayang..” Ibu Rossye mengerang kenikmatan, sewaktu mulutku menggigit dengan lembut klitoris yang menyembul dari atas vaginanya.

Badannya menggelinjang menahan geli, kedua kakinya tersentak-sentak ketika lidahku menjulur menusuk ke dalam lubang vaginanya.

“Ih.. Geli banget Bi..” Kepalanya terangkat melihat kelakuanku mempermainkan klitorisnya. Aku terdiam sesaat, sambil melihat kepada Ibu Rossye.
“Enak kan?” Sambil mencium dan menarik klitorisnya dengan mulutku.
“Auh.. Ih geli banget Bi.. Gila kamu..” matanya melotot kepadaku seolah-olah marah. Aku semakin menggodanya, klitorisnya kembali aku hisap sampai dalam.
“Aahh.. Ngg.. Nggak.. Aku nggak tahan sayang, please masukin punya kamu aja Bi..”

“Aah.. Trus sayang.. Make me cum baby..”

Matanya memandang kearahku, seolah ingin dipuaskan. Kontolku makin dalam menusuk-nusuk lubang vagina Ibu Rossye. Kedua tanganku bertumpu pada sisi badan Ibu Rossye. Dengan posisi tersebut, aku makin leluasa menghujamkan kontolku hingga terbenam ke dalam lubang vaginanya.

“Ah.. Ah.. Trus baby.. Trus..”

Pantatnya meliuk-liuk mengimbangi naik turunnya kontolku. Terasa gesekan yang sangat kuat pada sekujur batang kontolku, membuat badanku merinding menahan geli. Urat-urat kontolku makin kencang, seluruh energi seakan ingin terbuang bersama dengan puncak kenikmatan yang akan aku lalui. Aku berusaha menahan diri, agar pertahanan spermaku tidak tumpah ruah sebelum kalah bertanding.

“Bi.. Samaan ya sayang, aku mau keluar..”

Tangannya memainkan puting susuku. Gerakanku makin kencang, naik, turun! Naik, turun! Menghujam bertubi-tubi kedalam lubang vagina Ibu Rossye.

“Ah..” Sahutnya. Disusul muncratnya spermaku di dalam lubang vagina Ibu Rossye.
“Ehm.. Aah..” Badanku mengelinjang, menghabiskan seluruh sperma hingga tetesannya membasahi lubang vagina Ibu Rossye.

Aku merebahkan badan disebelah Ibu Rossye. Dia membalikkan badan dan memeluk aku dengan hangat. Berkali-kali keningku diciumnya.

“Bi.. Aku puas sekali.., Kamu gimana sayang?” Tangannya membelai rambutku.
“Ya.. Saya puas sekali sayang.. Saya menginginkan Ibu selalu..” Ibu Rossye hanya tersenyum memandangku.

Matahari menyeruak masuk menyusuri celah-celah korden kamar hotel. Mataku terbuka dan memandang langit-langit kamar. Aku menoleh ke samping tanpa mendapati Ibu Rossye di sisiku. Pikiranku saat itu, Ibu Rossye sedang di kamar mandi membersihkan diri. Sedikit pun aku tidak berpikir bahwa dia akan meninggalkan aku tanpa berpamitan. Secarik kertas yang aku temukan di meja akhirnya menjawab keraguanku.

“Abi sayang, Ibu pindah ke kamar sebelah. Pagi ini ada meeting dikantor bersama staf, jadi pagi-pagi Ibu sudah pindah kamar tanpa memberitahu kamu. Kalau bisa, kamu jangan balik ke jakarta. Temani Ibu, sayang.., Your lovely”

Pagi itu juga aku telepon reception hotel menyampaikan perpanjangan waktu menginap. Aku sempatkan berjalan-jalan disekitar hotel sambil menikmati cerahnya suasana pagi. Orang-orang sudah memulai aktivitasnya. Ibu-Ibu tua pemijat, menawarkan jasanya kepada beberapa orang asing yang sedang bermalas-malasan. Anak-anak muda berambut kekuning-kuningan karena terbakar sinar matahari, menenteng papan ski. Mereka terlihat begitu gembira saat melihat ombak besar bergulung-gulung memecah pantai.

“Mas.. Mas Abi kan?” Terdengar suara perempuan memanggilku.

Aku menoleh kearah suara tersebut dan mendapati Tari, staf Ibu Rossye berlari-lari kecil ke arahku. Pakaiannya sangat casual, dengan celana pendek berwarna putih mempertontonkan kakinya yang putih dan jenjang. Tari sungguh gadis yang sangat sexy, aku berkata dalam hati. Dan hari ini dia begitu ramah kepadaku. Sepertinya muka judes yang dia perlihatkan tadi malam, sirna ditelan oleh cerahnya mentari pagi.

“Hei.. Saya pikir ikut Ibu, katanya ada meeting?” Sahutku saat Tari berada dekatku.
“Hm.. Ibu bilang begitu?” Kata-katanya membuat aku bertanya-tanya dalam hati.
Keraguanku segera terjawab, “Ibu bertemu seseorang di Denpasar.

Tadinya saya akan ikut, tapi Ibu bilang nggak apa-apa kalau dia pergi sendiri. ”

“Mas.. Saya bosan disini, penginnya balik ke Jakarta segera” Sahutnya sambil menendang-nendang pasir yang putih.
“Karena cowoknya nunggu kan?” Aku menggoda.
“Iih, Mas bisa aja.. Bukan! Tari kan nggak punya cowok” Balasnya sambil mencoba mencubit lenganku.

Tapi dengan reflek aku menghindar sehingga Tari tambah bernafsu ingin mencubit lenganku. Setiap tangannya mencoba mencubit, aku berlari menghindar layaknya anak kecil bermain-main.

“Udah-udah, udah.. Aku nyerah, gih cubit..” Aku kasihan kepadanya.
“Nah, gitu dong Mas, sekarang aku cubit ya..” Senyumnya tersungging cantik.

Jarum jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul setengah dua belas. Matahari dipantai Kuta menyengat kulit. Butiran-butiran pasir sesekali terbang ditiup angin. Peselancar masih bermain-main bersama ombak yang bergulung-gulung.

“Tari, kita makan siang yuk? Kamu udah pernah ke Jimbaran?”
“Udah, sea foodnya enak lho Mas.. Mau berangkat sekarang?”
“Tari sudah mulai lapar nih..” Selorohnya.

Jimbaran di siang hari, hanya beberapa rumah makan yang buka. Tampak beberapa pasangan orang asing bercengkrama dengan riang sambil meneguk beberapa botol bir. Aku dan Tari memesan ikan bakar, cumi dan kerang. Tari hanya makan ikan dan cumi bakar dengan nasi sedikit.

“Diet, Tar?
“Nggak, emang Tari makannya dikit, ayo dong, Mas makannya yang banyak, biar kuat kan?”
“Kuat apaan, kuat ngangkat kamu iya..” Aku tertawa membalas ucapannya.
“Emang kuat Mas..”
“Ya iyalah.. Orang kamu nggak gemut-gemut amat. Kalau seperti orang itu”, aku menunjuk kepada seorang perempuan yang bertubuh besar, “Mampuslah aku..”
“Ha.. Ha.. Lucu..” Tawanya lepas.

Sepanjang jalan pulang ke hotel, aku dan Tari banyak bercerita mengenai pribadi masing-masing dan seputar usaha Ibu Rossye. Tari kelihatan sangat senang dengan pekerjaannya sekarang bersama Ibu Rossye. Ibu Rossye banyak membimbingnya dalam bekerja, layaknya Ibu dan anak.

Ketika telah sampai di halaman hotel, Tari kelihatan gelagapan. Tangannya mencari-cari sesuatu dalam tas yang dia bawa. Benda putih berupa tabung kecil, dia semprotkan kedalam rongga mulutnya. Napasnya terlihat mulai teratur.

“Kamu punya penyakit asma ya Tar..?” Kataku penuh perhatian.

Tari hanya mengangguk kecil dan tangannya segera memegang lenganku.

“Sorry ya Mas, Tari masih merasa nggak enak. Kayak lemes gitu..” Ujarnya dengan lirih.

Aku merasa kasihan kepada Tari. Perlahan-lahan aku berjalan menuju kamar Tari sambil memegangnya.

“Mas, temani Tari sebentar ya.. Takut kalau asmanya kambuh lagi.”

Aku menganggukkan kepala sambil membuka selimut tempat tidurnya, serta mempersilahkannya untuk beristirahat. Tari tergolek manja. Aku memandangnya dengan penuh perhatian. Matanya terbuka dan melihat ke arahku.

“Apa lihat-lihat..” Tegurnya dengan senyum simpul.
“Kamu cantik, Tari.”
“Gombal!”
“Benar! Kamu cantik! Aku dari tadi perhatiin kamu. Kamu terlihat tegar dan energik. Dan aku sangat khawatir kalau kamu ada apa-apa. Aku sayang kamu, Tari..” Aku berkata tanpa memberinya waktu untuk berbicara.
“Trus Ibu Rossye?” Ujarnya.

Aku mendekati Tari dan duduk disisi tempat tidurnya.

“Nggak ada apa-apa..” Aku berbohong.
“Kita hanya mengobrol sepanjang malam.”
“Mas jangan bohong..” Badannya bergeser ke samping.
“Apa aku harus mencium kamu untuk membuktikan kalau saya sayang kamu Tari?” Dengan lembut aku mencium bibirnya.
“Aku sayang kamu, Tari.”

Dia melepaskan ciumannya dari bibirku.

“Mana ada orang buktiin cinta dengan ciuman, gombal!” Senyumnya menggoda.
“Maunya yang bagaimana?”
“Apa aku harus membelah dadaku, boleh! Aku ambil pisau sekarang..” Pura-pura aku beranjak dari tempat tidurnya.
“Jangan.. Jangan..! Entar aku disangka bunuh kamu Mas..” Sahutnya tertawa manja.

Aku tidak membuang waktu terlalu lama, bibirku segera melumat bibirnya dengan nakal. Tari seorang pencium yang baik. Bibirnya menempel ketat pada bibirku dan memainkan lidahnya dengan sangat piawai. Buah dadanya menggesek badanku saat ciuman kami makin liar. Tanganku mulai bergerilya mengelus-elus pahanya yang putih. Sedangkan tanganku yang satunya membuka kancing celana panjang yang masih aku kenakan.

Sengaja aku membuka celana lebih dahulu, agar kontolku yang sudah mengeras keluar dengan lapang dan membuat birahi Tari makin liar. Tepat dugaanku! Tangan Tari memegang batang kontolku. Kadang digenggamnya batang kontolku dengan kuat. Terlihat emosi sexnya begitu tinggi, genggaman tangannya sangat jelas menunjukkan.

“Ahh.. Cium Adik kecilku sayang..” Aku mengatakannya dengan lembut.
“Wah.. Tegang sekali ya Mas.. Bisa nggak muat nih..”

Aku hanya tertawa mendengar gurauannya. Secara perlahan-lahan bibir tipisnya mencium ujung kontolku.. Lidahnya bermain-main mengelitik urat-urat kontolku yang makin jelas terlihat menahan geli. Sesekali aku menggelinjang kegelian saat mulutnya menghisap dengan kuat.

“Ahh.. Sakit sayang..”, Tari hanya tertawa kecil mendengar protesku
“Habis.. Adik kecilnya Mas menggemaskan..”
“Ha.. Ha..”, kami tertawa bersama-sama.

Aku membuka baju dan melepaskan celana. Tari pun mengikuti langkah yang sama. BH dan celana dalamnya sangat serasi menempel pada kulit putihnya.

“Boleh aku photo kamu sayang..?” ujarku sambil mengambil camera digital yang tergeletak di samping tempat tidur.
“Apa? Mas ada-ada saja..”
“Badan kamu sexy, kalau diphoto hasilnya pasti seperti playmate playboy.”
“Ngaco..” Kita kembali tertawa dengan lepas. Gigi putihnya terlihat rapi menebarkan pesona.

Aku mencium Tari dengan lembut sambil melepaskan kaitan BH-nya. Payudara Tari terlihat kencang mencuat kedepan. Aku meremas kedua payudaranya dari arah bawah. Lagi-lagi Tari meremas-remas batang kontolku dengan keras. Orang bilang, kalau perempuan itu gemas memegang sesuatu, apalagi gemas memegang alat vital, biasanya perempuan tersebut memiliki birahi sex tinggi.

“Ahh..” Aku mengerang kenikmatan ketika tangan Tari mengocok-ngocok batang kontolku.

Tari merebahkan dirinya seolah ingin dipuaskan. Kesempatan ini jelas aku pergunakan untuk memuaskan dirinya luar dalam. Puting payudaranya yang kemerahan aku hisap dengan ganas. Tari begitu menikmati permainan sex babak pertama.

“Gigit.. Mas..” Kedua tangannya mencengkram sprei. Matanya terpejam menahan geli.
“Uh.. Enaknya.. Uh.. Trus sayang..” Mulutnya mengucapkan kata-kata birahi.

Erangan Tari membuat aku makin bernafsu melumat klitorisnya. Bibir vaginanya terlihat rapi menempel pada sisi luar, yang ditumbuhi bulu-bulu halus bekas cukuran.

“Ah..”
“Kenapa sayang..” Aku mendongakkan kepala sambil menyengir.
“Sakit!” Protesnya.
“Satu nol!” Aku tertawa melihat expresi mukanya, kelihatan cemberut.
“Iih.. Dendaman ya.. Entar Tari balas..”
“Ya.. Ya.. Becanda kok sayang. Aku akan memuaskan dirimu sayang.. U will cum more than ever.. Ha.. Ha..”
“Emang bisa?”
“Tari bisa berkali-kali orgasme lho say.. ”
“Lets see..”

Aku memainkan lidah, menusukkan lidahku kedalam lubang vaginanya. Menjilati klitorisnya dan sesekali menarik-narik dengan lembut kedua bibir vaginanya. Mata Tari terpenjam menikmati permainanku. Lubang pantatnya terlihat sedikit terbuka, ketika kakinya dinaikkan ke atas. Rupanya pantatnya pun sudah pernah kemasukkan benda tumpul. Tanpa perasaan jijik aku jilati lubang pantatnya. Lidahku kembali bermain-main menemukan daerah baru. Lubang pantat! Ketika lubang vaginanya mulai basah. Kontolku mulai mengarah masuk. Bles..

“Ahh. Enak sekali sayang.. Trus..”
“Yang keras sayang..” Tari berteriak-teriak kepuasan.

Pantatnya naik dan turun mengikuti irama naik dan turunnya kontolku. Sesekali pantatnya bergetar membuat kontolku seperti tersedot.

“Ah.. Memek kamu enak sekali say..”
“Punya Mas juga.. Besar..!” Tari mengerling ke arahku.
“Ah.. Mas.. Tari mau keluar.. Aahh..”

Aku tambah bernafsu memasukkan kontolku menembus liang vaginanya yang mulai basah. Dari dinding vaginanya keluar cairan membasahi kontolku. Vagina Tari berkedut-kedut menjepit kontolku yang masih tertanam di dalam.

“Sa.. Tu kali..” Kataku sambil terengah-engah nikmat. Tari hanya tersenyum puas memandang ke arahku.

Aku kembali memulai babak berikutnya. Kontolku mengarah ke posisi lain, lubang pantat Tari! Perlahan tapi pasti, akhirnya Sst.. Sst.. Blep.. Muka Tari terlihat menahan sakit dan giginya terkatup. Lubang pantat Tari menjepit batang kontolku dengan kuat. Sulit aku katakan dengan bahasa yang lugas, pokoknya nikmat hingga ke ubun-ubun. Perlahan-lahan kontolku keluar dan masuk. Seperti orang bilang, lama-lama menjadi biasa. Dinding lubang pantatnya pun mengikuti besarnya kontolku. Sesaknya berkurang, kontolku makin cepat masuk dan keluar lubang pantatnya.

“Ahh.. Don’t stop hon..” Tari berteriak kenikmatan.

Tangannya menggosok-gosok klitorisnya sambil memejamkan mata. Rasanya puncak kenikmatannya akan tiba. Badannya kembali bergonyng-goyang, seolah ingin menumpahkan seluruh cairan kenikmatannya.

“Ahh.. Aku keluar lagi..” Tari berteriak. Dan kontolku masih mengocok lubang pantatnya.
“Ayo.. Say.. Keluarin.. Tari udah nggak ditahan..”

Makin kencang kontolku keluar dan masuk, makin cepat dorongan spermaku ingin tumpah. Dan aku tidak ingin menahannya di dalam kontolku. Aku harus membuang spermaku di dalam lubang kenikmatan Tari.

“Ah.. Aku mau keluar.. Tar..” Kocokan kontolku makin kencang.

Saat spermaku hendak keluar, tangan Tari menarik kontolku dan memasukkannya dengan cepat ke dalam lubang vaginanya.

“Ah.., aahh..”, Crot crot.. Spermaku tumpah ruah di dalam lubang vagina Tari. Kedutan vaginanya seolah-olah ingin memeras batang kontolku agar spermanya keluar tak tersisa.

Aku tersenyum kepadanya.

Tiba-tiba bunyi bel terdengar. Tari kelihatan gugup serta menyuruh aku membersihkan badan di kamar mandi. Dari balik kamar mandi aku mendengar suara seorang perempuan, seperti suara Ibu Rossye. Mati aku! Aku berkata dalam hati.

Untunglah pikiran negatifku segera sirna, saat melihat Ibu Rossye ternyata malah tersenyum manis dan mencium pipiku dengan lembut..
itil service